Adopsi Anak Dan Peran Negara

“Fakir Miskin dan Anak Terlantar diperlihara oleh negara”. Demikianlah isi Pasal 34 Ayat (1) dari Undang-undang Dasar 1945 yang sering kita dengar dan baca. Bahkan dalam ayat (2),  negara memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia mendapatkan sistem jaminan sosial dan  memberdayakan mereka yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Undang-undang secara eksplisit telah menanggung bahwa anak terlantar menjadi tanggung jawabnya jika si anak tidak mendapatkan hak-hak semestinya, misalnya anak atau bayi yang di buang di tempat umum.

Bebarapa waktu belakangan ini, Dinas Sosial Kota Banda Aceh didatangi sejumlah orang, bukan berkaitan dengan bantuan sosial, tetapi berkaitan dengan informasi adopsi anak. Kejadian penelantaran bayi baru lahir dengan waktu yang berdekatan telah membuat warga menaruh perhatian lebih. Apalagi berdasarkan berita-berita yang beredar, bayi-bayi yang ditemukan di bawah jembatan dan di depan toko tersebut memiliki wajah yang rupawan yang tentu saja memikat orang-orang untuk mengadopsi.

Tetapi, negara dalam hal ini Dinas Sosial telah bertindak sesuai regulasi yang berlaku untuk memberikan keselamatan kepada bayi tersebut dan menghindari hal-hal yang merugikan  dari orang yang tidak bertanggung jawab, misalnya human traffiking. Bukan tidak mungkin hal tersebut terjadi. Negara merupakan pihak yang akan memastikan bayi-bayi terlantar terutama yang tidak diketahui siapa orang tuanya untuk mendapatkan hak-hak yang harus dimilikinya seperti hak hidup dan hak tumbuh kembang sebagai anak.

Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan, Dan Pelaporan  Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengertian pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat sedangkan Calon Orang Tua Angkat yang selanjutnya disingkat COTA adalah orang yang mengajukan permohonan untuk menjadi orang tua angkat.

Dalam mekanisme adopsi atau pengangkatan anak ini membutuhkan waktu yang panjang dan proses yang lama. Karena melakukan seleksi siapa yang cocok dan pantas menjadi orang tua angkat untuk bayi-bayi terlantar ini tentunya harus berdasarkan observasi yang lama. Karena bukan hanya dukungan dokumen yang lengkap tetapi perlunya waktu untuk melakukan pemantauan dan pengawasan kepada COTA sehingga dapat diputuskan menjadi layak sebagai orang tua angkat.

Dalam mekanisme adopsi anak, secara garis besar ada tiga tahap yang harus dilalui sampai pengadilan memutuskan posisi anak tersebut. Pertama, mengajukan permohonan pengangkatan kepada instansi sosial di daerah setempat, dalam hal ini adalah Dinas Sosial tingkat kabupaten kota. Permohonan ini berisi tentang identitas dari pemohon atau COTA tersebut. Dengan adanya permohonan ini, maka akan diketahui identitas dasar seperti domisili, usia, status perkawinan dan agama. Karena hal-hal  tersebut menjadi catatan utama dalam proses selanjutnya. Cota yang mengajukan permohonan bertempat tinggal sama dengan anak yang akan diadopsi, menganut agama yang sama dan berusia minimal 30 tahun dan telah menikah minimal selama 5 tahun.

Tahap kedua yang harus dilalui adalah tahap asesmen. Dalam hal ini  Dinas Sosial melalui petugasnya yang disebut Pekerja Sosial akan melakukan home visit atau kunjungan ke rumah untuk menilai kelayakan sebagai orang tua angkat. Kunjunga-kunjungan ini dilakukan secara berkala sebanyak enam sampai tujuh kali. Setelah mendapatkan status kelayakan maka Cota harus memenuhi persyaratan administrasi lainnya yang lebih lengkap, antara lain surat kesehatan, surat berkelakuan baik dari kepolisian, foto-foto, surat-surat pernyataan yang bekaitan dengan penghasilan dan kemampuan ekonomi, bahkan surat persetujuan dari keluarga besar kedua belah pihak dari Cota. Semua dokumen ini akan dilampirkan juga dengan laporan sosial yang diberikan oleh Pekerja Sosial selama kunjungan ke rumah Cota dan ke tempat pengasuhan sementara si anak.

Setelah administrasi lengkap, maka sampailah pada tahap tiga.  Dinas Sosial kabupaten kota akan memberikan rekomendasi dan berkas  untuk diajukan ke Dinas Sosial Provinsi kemudian akan dilakukannya sidang Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA).  Sidang PIPA merupakan salah satu dari rangkaian proses pengangkatan atau adopsi anak yang wajib dilaksanakan dalam proses pengangkatan anak, melalui sidang ini, tim PIPA memberikan pertimbangan terkait persetujuan bagi COTA untuk dapat mengadopsi anak. Tim PIPA terdiri dari Dinas Sosial, Dinas Perlindungan Anak dan stakeholder lainnya yang terkait dalam proses pengangkatan anak. 

Dalam proses sidang PIPA ini, Pekerja Sosial memberikan presentasi laporan sosial yang telah dibuat dan memberikan informasi kepada anggota Tim PIPA, sehingga tim PIPA dapat mengambil keputusan dengan dasar kepentingan terbaik untuk anak. Dalam sidang ini dapat juga terjadi permohonan yang diajukan Cota ditolak oleh tim.  Hasil pertimbangan tim ini akan diberikan kepada pengadilan untuk diberikan keputusan terhadap status anak angkat tersebut.  Dan hasil penetapan pengadilan juga akan mengubah status yang tertera dalam akte kelahiran anak, jika telah ada, dan mencantumkan siapa orang tua angkatnya yang sah secara hukum negara.

Adopsi anak bukanlah hal semudah mengambil atau membeli barang tanpa proses dan seleksi yang menyeluruh. Taruhannya adalah kehidupan dan masa depan si anak. Karena kita melihat juga bahwa anak kandung saja masih banyak diterlantarkan bahkan mendapatkan kekerasan, apalagi dengan status anak angkat, ada yang kemudian di jual ke luar negeri. Tentu saja hal ini sudah termasuk kriminal human traffiking. Disinilah negara mempunyai peran, untuk menjaga anak-anak yang belum mampu menjaga dirinya sendiri. negara mempunyai kekuatan untuk melakukan pengasuhan dan mengalihkan pengasuhan tersebut kepada pengasuhan aternatif lainnya.

Penulis: Risnawati Ridwan