Perempuan Merdeka, Sebuah Pilihan atau Tuntutan

Setiap manusia telah ditentukan oleh Yang Mahakuasa sesuatu menjadi takdirnya selama hidup di muka bumi. Langkah, rezeki, pertemuan dan maut adalah analogi takdir kehidupan. Demikian juga dalam kehidupan seorang wanita. Seberapa lama langkah kehidupannya di muka bumi ini, bagaimana penghidupannya berjalan, siapa yang menemaninya selama hidupnya dan kapan tugas hidupnya selesai telah tertulis di lauhul mahfudz.

Bertepatan dengan tanggal 8 Maret setiap tahun, merupakan Hari Perempuan Internasional di mana setiap wanita memimpikan kehidupan yang berbahagia. Pada tahun ini, tema hari perempuan internasional ini adalah Break the Bias. Selama ini terlalu banyak  bias  yang perempuan alami, baik itu di dalam keluarga maupun di dalam komunitasnya.

Menjadi seorang perempuan yang merdeka tanpa bias dalam menjalani kehidupannya adalah sebuah prestige tersendiri. Karena tidak semua perempuan mempunyai kesempatan untuk merdeka dalam menentukan pilihannya dan bertanggungjawab atas pilihannya tersebut.

Salah satu standar bahagia  yang telah disematkan kepada wanita adalah menikah, mempunyai suami yang sempurna, mempunyai anak-anak yang lucu sehingga kehidupan wanita tersebut menjadi impian semua wanita lainnya. Padahal banyak faktor seorang wanita bisa bahagia menjadi diri sendiri.

Dalam sebuah keluarga, posisi perempuan bukanlah sebagai imam atau kepala keluarga. Ibarat dalam sebuah lembaga pendidikan, ibu berperan sebagai guru tetapi kepala sekolahnya adalah sang Ayah. Artinya ibu berperan menjalankan tugasnya setelah menjalin  komunikasi dengan sang kepala sekolah  tentang ke arah mana pendidikan anggota keluarga akan dibawa.

Perempuan-Perempuan Mandiri

Saya sering menemukan perempuan-perempuan karena sesuatu hal mengharuskan mereka berperan ganda, sebagai guru sekaligus menjadi kepala sekolahnya. Tentunya ini bukanlah tanggung jawab yang ringan untuk dipikul. Dan hal tersebut bukanlah karena mereka tidak mau untuk merdeka tetapi kesempatan mereka untuk merdeka tidak ada sehingga mereka terjebak dalam perangkap yang tercipta tanpa disadari.

Seringnya berhubungan dnegan perempuan-perempuan yang terpaksa “mandiri” merupakan sebuah hikmah bagi saya pribadi. Bagaimana melihat mereka harus “merdeka” untuk bisa memerdekakan orang lain. Contoh nyatanya adalah bagaimana seorang ibu berusaha dengan sangat keras agar anak-anak mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik dari kehidupan saat ini.  Baik itu kehidupan ekonominya, pendidikannya bahkan kehidupan pernikahannya.

Saya mempunyai tetangga yang bisa dibilang seorang single mother. Mempunyai dua orang anak perempuan. Permasalahan muncul saat ada orang ketiga yang mengganggu rumah tangga tersebut sehingga pada akhirnya keluarga ini diterlantarkan oleh sang kepala keluarga.

Saya menyebutnya penelantaran. Karena tidak adanya kepastian tentang status dari suami terhadap istrinya. Tidak ada keputusan resmi tentang status perkawinan mereka. Sang istri tidak melakukan proses hukum ke pengadilan karena permintaan anak-anak yang tidak ingin disebut sebagai anak broken home. Tentunya situasi ini sangat memberatkan bagi sang istri. Memilih merdeka dengan memilih putus dan cerai dengan suami tanpa ada kejelasan status tidak dapat dilakukan karena ada faktor lain yaitu anak-anak. Namun bukan berarti bahwa perempuan tersebut tidak merdeka di dalam dirinya.  Bisa jadi dengan tidak mengambil keputusan untuk dirinya sendiri tetapi telah mengambil keputusan demi masa depan anak-anaknya. Seperti kita ketahui, cinta ibu terhadap anaknya melebihi cinta ibu untuk dirinya sendiri.

Perempuan Tanggung

Ada juga kisah lainnya di sekitar kita tentang perempuan tangguh karena tuntutan kehidupan. Seorang kepala keluarga yang pergi karena takdir seperti kematian meninggalkan perempuan dengan segala tuntutannya, dari membesarkan anak-anaknya, mencari perekonomian secara mandiri, bahkan melindungi mental sendiri dari bullying  yang tercipta dari sekeliling perempuan tersebut.

Bahkan serangan terhadap perempuan-perempuan tangguh ini lebih sering dilakukan oleh sesama perempuan. Padahal seyogyanya lah para perempuan telah mengetahui kelemahan dan kekuatan perempuan lain, tetapi mereka menggunakan kelemahan-kelemahan yang telah mereka rasakan sendiri dan menimpakannya ke perempuan lainnya, yang seharusnya mendapatkan dukungan dari sesama perempuan.

Dengan analogi guru dan kepela sekolah, saat perempuan menjadi mandiri sendiri, maka tidak menutup kemungkinan sistem keluarga tersebut menjadi oleng. Bahkan banyak juga keluarga yang karam karena tidak adanya kemampuan dari perempuan untuk menyeimbangkan kehidupannya. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan diri untuk mengambil sikap mandiri atau tidak, bukan sebuah pilhan tetapi sebuah tuntutan.

___

Bagi saya merdeka adalah sesuatu yang telah menjadi keputusan yang kita ambil dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut. Merdeka bagi perempuan bukan sebuah tuntutan tetapi sebuah pilihan. Saat memilih untuk merdeka berarti telah siap dengan segala resiko yang mendampingi kemerdekaan  itu sendiri. Seorang perempuan yang terbatas akses kemerdekaannya bukanlah perempuan yang lemah, hanya saja lebih memilih untuk merdeka dari sudut pandang yang lain.

 

(Sumber)